Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Menuju Tujuan Hukum Pancasila

Oleh : Rusydi Sastrawan ,Kasi Pengelolaan Barang Bukti Dan Barang Rampasan Kejari Lubuklinggau

NARASI UPDATE — Istilah Keadilan Restoratif lagi ramai dan diperbincangkan oleh para pemerhati hukum, aparat penegak hukum, akademisi, dan tidak luput dari peran media yang selalu menyoroti kegiatan-kegiatan penerapan keadilan restoratif oleh aparat penegak hukum.

Pengertian Keadilan restoratif yang berkembang saat ini terkait dengan hukum pidana adalah pendekatan dalam penyelesaian suatu perkara pidana melalui keterlibatan banyak pihak seperti pihak pelaku/keluarganya, korban/keluarganya dan kelompok masyarakat terkait dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula bukan pembalasan.

Penulis tertarik mendalami istilah tersebut apa sebenarnya latar belakang timbulnya pendekatan Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana mengingat dalam Hukum Acara Pidana yang menjadi pedoman para aparat penegak hukum maupun hukum acara pidana yang ada saat ini tidak mengenal istilah tersebut dan menjadi permasalahan hukum ketika hanya mempedomani norma yang ada dalam ketentuan didalam Pasal 3 KUHAP sebagai dasar berpikir bahwa Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan berbagai literature, berawal dari prinsip keadilan pada pemidanaan di Indonesia yang berlandaskan pada prinsip keadilan retributive, dimana pemidanaan ditujukan sebagai sarana pembalasan atau perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh pelaku. Pelaku perbuatan pidana merupakan pihak yang bersalah atas perbuatan yang terjadi dan harus mendapat balasan atas perbuatannya tersebut dan pembalasan berupa sanksi pidana merupakan konsekuensi atas perbuatan pidana yang telah dilakukan.

Dalam perkembangannya prinsip keadilan retributive ini diperluas maknanya dimana pemidanaan bukan hanya semata-mata sebagai pembalasan tetapi ada tujuan lain yang ingin dicapai yaitu pembinaan narapidana (rehabilitatif).

Teori Retributive yang bertujuan untuk pemasyarakatan terpidana melalui rehabilitasi sehingga pemidanaan yang diterapkan memiliki tujuan yang terintegrasi antara pembalasan terhadap perbuatan pelaku tetapi juga memiliki tujuan sebagai sarana agar dapat melakukan rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana. Walaupun demikian teori rehabilitasi ini pada akhirnya mendapatkan kritik karena baik pada prinsip retributive maupun rehabilitative tujuan pemidanaan masih semata-mata terfokus pada pelaku tindak pidana.

Melalui teori-teori pemidanaan ini terlihat bahwa kepentingan masyarakat khususnya, kepentingan korban secara actual belum sungguh-sungguh mendapatkan perhatian. Dasar pemikiran bahwa sanksi tidak seharusnya hanya tentang pelaku tindak pidana tetapi juga seharusnya berpihak pada korban dari tindak pidana yang terjadi sebagai pihak yang paling terkena dampak atas kejahatan yang terjadi.

Dasar pemikiran yang demikianlah yang kemudian menjadi dasar teori Restorative Justice. Dimana dalam prinsip keadilan restorative pengembalian penyelesaian konflik kepada pihak-pihak yang terdampak yaitu korban, pelaku dan kepentingan komunitas merupakan tujuan yang diutamakan.

Restoratif Justice adalah sebuah teori dan juga konsep pemikiran. Hukum dalam keseharian akan dirasakan bagaimana cara kerjanya polisi, jaksa dan para hakim yang memeriksa dan memutus suatu perkara atau hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang atau perlakuan yang terjadi didalam Lembaga pemasyarakatan.

Konsep hukum yang sedang kita persoalkan terutama tentang keadilan restoratif ini, tentu bukan sekedar praktik-praktik yang kita lihat, melainkan juga perlu kita ketahui “roh” yang berada didalam isi hukum itu. Penulis berpendapat hukum adalah bagian tidak terpisahkan dari kebiasaan dalam kehidupan kita sehari-hari didalam masyarakat. Jika kita mengetahui isi hukum sekaligus roh yang menjiwai hukum terutama konsep keadilan restoratif yang menjadi tema tulisan ini, maka barulah hukum memiliki makna dan bermakna bagi kehidupan kita.
Perguruan tinggi ilmu hukum selaku mengajarkan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.

Orang membawa perkara ke pengadilan dengan niat mencapai keadilan. Padahal itu seringkali seperti fatamorgana di padang pasir. Hukum adalah instrumen bernegara, sehingga tujuan hukum seharusnya sesuai dengan tujuan negara. Tujuan hukum yang diambil dari dunia Barat (Belanda) tak sejalan dengan tujuan bernegara Indonesia.

Tujuan bernegara Indonesia sebagaimana tercantum didalam Pembukaan UUD 1945 diantaranya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Konsep-konsep hukum Barat sudah tidak relevan dan sudak tidak sesuai dengan filosofis, budaya dan geografi Indonesia. Akibatnya, sering terjadi pemahaman yang kontradiktif antara penegakan hukum dengan harapan masyarakat, dimana penegakan hukum yang procedural dan harapan masyarakat pencari keadilan procedural tersebut merupakan ketidakadilan itu sendiri.

Penulis mengambil contoh ketika Si A yang merupakan Korban Pencurian berupa 1 unit sepeda motor, ketika pelaku ditangkap dan diproses, namun justru mendapatkan ketidakadilan kembali karena sepeda motor yang menjadi objek pencurian harus menjadi barang bukti dan disita oleh Polisi, diserahkan kepada Penuntut umum dan dihadirkan dipersidangan sehingga waktu yang cukup lama sampai dengan kembali kepada korban merupakan bentuk ketidakadilan lainnya yang dialami oleh si A selaku korban.

Pancasila harus dijadikan rujukan untuk menyusun dan mengembangkan tujuan hukum (pidana) di Indonesia. Dengan alur berpikir demikian maka penegakan hukum pidana tak bisa dilepaskan dari konsep musyawarah untuk mufakat.

Restorative justice adalah salah satu konsep yang mengarah ke sana. Hukum itu pada hakekatnya membuat hidup menjadi damai. Faktanya, hukum yang mengandalkan tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan itu tak membuat damai. Lantaran tujuannya untuk damai, maka cara-cara hukum mencapai kedamaian harus diubah.

Selama ini hukum pidana seolah bersandar pada penghukuman orang. Cara berpikir demikian diterapkan hingga kini. Padahal dalam konteks Pancasila, musyawarah untuk mufakat dikedepankan.

Kalau korban dan pelaku sudah berdamai, maka seharusnya perkara selesai. Yang menentukan adil atau tidaknya adalah korban. Pendapat korban mengenai hukuman yang layak patut didengar.

Selama ini, dalam perbuatan penipuan, meskipun korban dan pelaku sudah berdamai masih diteruskan. Perkara diteruskan ke pengadilan. Praktik semacam inilah yang mengkaburkan tujuan hukum itu sendiri, Sebab, jika tujuan hukum untuk mendamaikan, maka perdamaian antara korban dan pelaku adalah sebuah jalan keluar.

Tetapi jika korban dan pelaku tak bisa berdamai (musyawarah), maka mereka meyerahkan urusan itu kepada Negara melalui Polisi, Jaksa dan Hakim. Para penegak hukum itulah yang menentukan keadilan bagi kedua belah pihak.

Berdasarkan pemikiran diatas, tidak lengkap rasanya jika penulis tidak mencantumkan beberapa perbandingan terkait penerapan hukum yang menurut hemat penulis sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Contoh ekstreem menurut hemat penulis apabila dibandingkan dengan Hukum positif yang ada dan berlaku saat ini terkait dengan kasus pembunuhan tentu sangat jauh berbeda apabila kita melihat ketentuan hukum pidana Islam karena hukum pidana Islam pembunuhan sengaja dan pembunuhan karena kelalaian adalah ranah penyelesaiannya diserahkan pada korban, sebab yang dirugikan bukan negara, namun negara bisa saja menjatuhkan hukuman berupa ta’zir jika hakim meyakini bahwa perbuatan pelaku jarimah mengganggu ketertiban umum.

Misalnya pelaku pembunuhan dengan kelalaian secara ugal-ugalan menjalankan kendaraannya yang menyebabkan terganggunya ketertiban lalu-lintas. Bentuk penyelesaian jarimah qishas-diyat ini korban dapat menentukan jenis hukuman yaitu berupa hukuman qishas atau balas yang sama, atau bisa memaafkan dengan membayar denda (diyat), bahkan bisa memaafkan tanpa membayar denda atau diyat.

Jika korban menentukan hukuman qishas maka pengadilanlah yang mengeksekusi. Namun jika korban atau keluarga korban menentukan diyat maka denda diyat itu seluruhnya diserahkan kepada korban atau keluarga korban.

Menurut konsep pidana Islam pembunuhan sengaja atau pembunuhan tidak sengaja tidak merusak ketertiban umum, sebab masyarakat tidak merasakan akan akibat takut atau resahatau berpikiran akan menjadi korban berikutnya. Pelaku jarimah ini hanya menaruh niat jahat pada korban saja, maka atas dasar berpikir inilah maka sesungguhnya yang harus dilindungi itu adalah korban dan keluarga korban.

Model penyelesaian jarimah qishas-diyat dalam hukum pidana Islam yang melibatkan korban tidak dirumuskan dalam ketentuan tertulis layaknya dalam sistem model penyelesaian kasus pidana Indonesia dan tentunya penulis berpendapat bahwa hukum pidana formil (Hukum Acara Pidana) dalam penegakan hukum di Indonesia yang ada sekarang tidak sesuai dengan Pancasila sebagaimana menjadi dasar hukum negara dan landasan filosofis dalam pembentukan undang-undang.

Penulis mengambil kembali contoh lain seperti penyelesaian masalah hukum didalam majelis peradilan adat dibeberapa wilayah yang ada di Indonesia, dimana hukum pidana adat mengenal penyelesaian adat dengan membayar “tepung setawar”.

Penyelesaian model adat tidak diformulasi secara tertulis dalam kitab undang-undang kita, namun ditaati oleh masyarakat sebagai hukum yang berlaku. Model perumusan hukum pidana adat ini justru sangat aneh ketika dikagumi dan diakui oleh kalangan sarjana barat. Penulis mengutif pendapat filsuf Meuwissen bahwa hukum yang validitas dalam arti “keberlakuan” adalah suatu kaidah hukum jika memenuhi syarat-syarat diantaranya adalah keberlakuan sosial atau faktual. Kaidah tersebut diterima dan diberlakukan oleh masyarakat umum.

Berdasarkan contoh diatas, Kembali kepada pengertian dan pemahaman keadilan restoratif, menurut hemat penulis bentuk-bentuk dari penerapan dan pendekatan keadilan restoratif itu berbagai bentuk layaknya sebuah teori yang melahirkan berbagai macam norma dan norma melahirkan berbagai macam aturan hukum.

Berdasarkan uraian-uraian diatas tentunya penulis berharap menjadi kajian para akademisi, pembentuk undang-undang, dan seluruh pengambil kebijakan di Negeri ini dapat bersama-sama mencari solusi dan alternatif terbaik didalam pembentukan Hukum Acara Pidana Indonesia kedepan yang Kembali pada cita-cita bangsa yang berlandaskan kepada Pancasila. (*)

About admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Kreatif Dunkzzz